Tuesday, 20 January 2015

makalah muamalah dan munakahat


ok gan, sekarang ane mau ngeshare makalah ane yang tugas PAI, moga bermanfaat :-)


MAKALAH
“ MUAMALAH & MUFAKAT”

 

 


Disusun Oleh :
1.       Dani Irfan
2.       M. Akbar
3.       Kardija
4.       Irsyad
5.       Riyanto



SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
IKMI
CIREBON
2015


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah dengan  judul Muamalah dan Munakahat dapat kami selesaikan dengan baik, dengan tujuan memenuhi tugas Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam.
Makalah dengan judul Muamalah dan Munakahat ini berisi materi mengenai tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat, pengertian pernikahan, hukum, rukun dan syarat, iddah dan talak. Dengan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam mengenai pernikahan dan dapat mengetahui hukum-hukum pernikahan, sehingga tidak salah mengerti dan tidak melakukan hal yang telah dilarang agama.
Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kepada pembaca kami harapkan saran dan kritik  yang konstruktif  untuk kesempurnaan makalah ini, karena kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. 
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca dalam pembinaan diri menjadi manusia yang religius yang siap membangun bangsa dan landasan agama.
                                                               
Cirebon, 14 Januari 2015

  Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................  i
DAFTAR ISI .........................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................  1
1.1   LATAR BELAKANG .............................................................................  1
1.2   RUMUSAN MASALAH ........................................................................  2
1.3   TUJUAN MAKALAH ............................................................................  3
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................  4
2.1   PENGERTIAN MUAMALAH ...............................................................  4
2.2   MACAM-MACAM JUAL BELI  ...........................................................  7
2.3   RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI ....................................................  7
2.4   HAL-HAL DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ............................  12
2.5   PENGERTIAN MUNAKAHAT ...........................................................  16
2.6   HUKUM MUNAKAHAT .....................................................................  18
2.7   TUJUAN MUNAKAHAT .....................................................................  18
2.8   RUKUN DAN SYARAT NIKAH .........................................................  19
2.9   MUHRIM ...............................................................................................  23
2.10 KEWAJIBAN SUAMI ISTRI ................................................................  24
2.11 TALAK ...................................................................................................  25
2.12 IDDAH ...................................................................................................  29
2.13 RUJUK ...................................................................................................  30
BAB III PENUTUP ............................................................................................  33
3.1   KESIMPULAN .....................................................................................  33
3.2   SARAN .................................................................................................  34
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................  35





BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Manusia adalah  mahluk yang sempurna. Namun juga manusia adalah mahluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia yang sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal, nafsu dan pemikiran yang sangat berkembang namun hal diatas tidak menjamin bahwa manusia akan menjadi mahluk yang arif dan bijaksana. Dalam kehidupan sehari-hari manusia bahkan dapat bertindak melebihi mahluk lain yang notabene adalah mahluk yang tak sesempurna manusia.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.
Dan manusia juga membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan nafsu keinginannya dalam membangun ikatan pernikahan untuk menurunkan keturunan yang sah sesuai dengan ketentuan hukum islam. Oleh karena itu dalam makalah ini akan disampaikan menegnai hukum-hukum pernikahan sesuai syariat agama islam.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Untuk mengkaji dan mengulas tentang muamalah dan mufakat, maka diperlukan sub pokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Muamalah?
2.      Apa saja macam-macam jual beli?
3.      Rukun dan syarat apa saja yang mengsahkan jual beli?
4.      Hal-hal apa saja yang harus dilakukan agar transaksi tersebut sah atau tidak?
 5.      Apa pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya   beserta dalil-dalilnya?
 6.        Apa tujuan pernikahan?
 7.        Apa rukun dan syarat pernikahan?
 8.        Siapa orang yang haram dinikah atau dipinang?
 9.        Bagaiman kewajiban seorang istri dan seorang suami?



1.3    TUJUAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui maksud dari muamalah?
2.      Untuk mengetahui apa saja macam-macam jual beli?
3.      Untuk mengetahui Rukun dan syarat yang mengsahkan jual beli?
4.      Untuk mengetahui transaksi yang dilakukan sah atau  tidak.?
5.      Mengetahui pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya   beserta dalil-dalilnya?
6.      Mengetahui tujuan pernikahan?
7.      Mengetahui  rukun dan syarat pernikahan?
8.      Mengetahui orang yang haram dinikah atau dipinang?
9.      Mengetahui kewajiban seorang istri dan seorang suami?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Muamalah
Menurut fiqih, muamalah ialah hukum islam yng berkitan dengan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan kerjasama dagang.

1. Jual Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Firman Allah SWT:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَإِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ  قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ  أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ                                                               

Artinya :  “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah (2) : 275).


2.      Ariyah (Pinjam meminjam)
Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya agar dapat dikembalikan zat barang itu. Dalam hal ariyah terdapat rukun dan hukumnya yaitu sebagai berikut:
a.       Rukun Ariyah
1.     Orang yang meminjamkan syaratnya berhak berbuat kebaikan sekehendaknya, manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan
2.      Orang yang meminjam berhak menerima kebaikan
3.      Barang yang dipinjam syaratnya barang tersebut bermanfaat, sewaktu diambil manfaatnya zatnya tetap atau tidak rusak.
Orang yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya dan apabila barang yang dipinjam hilang, atau rusak sebab pemakaian yang diizinkan, yang meminjam tidak menggantinya. Tetapi jikalau sebab lain, dia wajib mengganti.
b. Hukum Ariyah
Asal hukum meminjamkan sesuatu adalah sunat. Akan tetapi kadang hukumnya wajib dan kadang-kadang juga haram. Hukumnya wajib contohnya yaitu meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang hampir mati. Dan hukumnya haram contohnya sesuatu yang dipinjam untuk sesuatu yang haram.
3.      Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan dimana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemili barang yang di pinjamkan. Hukum dari sewa menyewa ini mubah atau diperbolehkan.
4.      Kerjasama dagang atau bisnis
Dalam istilah syariah, kerja sama bisnis sering disebut sebagai syirkah, syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.


2.2 Macam-macam Jual Beli
Dalam hal jual beli ada tiga macam yaitu jual beli yang sah dan tidak terlarang, jual beli yang terlarang dan tidak sah, jual beli yang sah tetapi terlarang:
1.     Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang diizinkan oleh agama artinya, jual beli yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2.      Jual beli yang terlarang dan tidak sah yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, artinya jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya jual beli, contohnya jual beli barang najis, Jual beli anak hewan yang masih berada dalam perut induknya, jual beli yang ada unsur kecurangan dan jual beli sperma hewan.
3.     Jual beli yang sah tapi terlarang yaitu jual belinya sah, tidak membatalkan akad dalam jual beli tapi dilarang dalam agama Islam karena menyakiti si penjual, si pembeli atau orang lain; menyempitkan gerakan pasaran dan merusak ketentraman umum, contohnya membeli barang dengan harga mahal yang tujuannya supaya orang lain tidak dapat membeli barang tersebut.

2.3 Rukun Dan Syarat Jual Beli
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun masing-masing rukun memiliki syarat yaitu;
1.        Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ                         
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
2.        Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
a.    Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
b.     Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali.
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan.
3.        Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
1)     Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ                                                   
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ                                            
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan  porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ                                 
“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)
2)     Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“jangan engkau  jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud)
3)     Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli, maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)
4)      Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).


Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan:
1)       Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
2)       Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
·         Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
·         Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
·         Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.

2.4 Hal-Hal Dalam Melakukan Transaksi
Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1.        Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)
2.        Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
·         Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak
·         Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak
·         Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.

3.        Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya menjadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4.        Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
a)         Menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)
b)        Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa : 160-161 .
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
c)         Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
d)        Merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
5.        Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.

2.5 Pengertian Munakahat (Pernikahan)
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menurut U U  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ غَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang  mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku  dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1.      Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
2.      Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).

2.6 Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1.    Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.    Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir akan  terjerumus ke dalam perzinaan.
3.    Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.    Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.    Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

2.7     Tujuan Munakahat
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia         (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang     bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan          pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.     Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia  dan tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu        isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram            kepadanya“. (Ar-Rum : 21).
2.       Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang antara  suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21)
Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang “. (Ar- Rum : 21).
3.        Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.        Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai ibadah.  Allah swt., berfirman :
Artinya :” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5.        Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku, barang  siapa  tidak  senang  dengan sunahku,          maka bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.        Untuk  memperoleh keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)

2.8  Rukun dan Syarat nikah
a.    Calon Suami, syaratnya:
a)      Beragama Islam,
b)      Bukan mahram calon istri,
c)      Tidak dipaksa dan dipaksa.
b.    Calon Istri, syaratnya:
a)      Beragama islam atau ahli kitab,
b)      Bukan mahram calon suami,
c)      Sedang tidak mempunyai suami,
d)     Tidak dalam masa iddah.
c.    Sigat aqad, yang terdiri dari ijab dan qobul
·         Ijab adalah ucapan wali mempelai perempuan yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
·         Qobul adalah ucapan calon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
v  Contoh  Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan anak perempuan saya bernama si Fulan binti ……  dengan ……. dengan mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً مِنْمُصْحَافِالْقُرْاَنِ حَالاً
v  Contoh Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا وَتَزْوِجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah    saw, bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d.      Wali mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a)      Laki-laki,
b)      Beragama islam,
c)      Balig,
d)     Berakal sehat,
e)      Merdeka,
f)       Adil,
g)      Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.

Wali nikah di bagi menjadi 2 macam, yaitu:
1.        Wali nasab:  yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a)        Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali,
b)        Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas,
c)        Saudara laki-laki sekandung
d)       Saudara laki-laki seayah
e)        Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f)         Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g)        saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h)        Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i)          Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah.

2.       Wali hakim: yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim di limpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
a)        Wali nasab benar-benar tidak ada
b)        Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada.
c)        Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d)       Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e)        Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f)         Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai wali nikah
g)        Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h)        Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinnya :”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)

e.          Dua orang saksi, syaratnya:
a)      Beragama Islam,
b)      Balig,
c)      Berakal sehat,
d)     Merdeka,
e)      Laki-laki,
f)       Adil,
g)      Tidak sedang ihram, haji, atau umrah.
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw.,  bersabda لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(روه احمد )
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan  wali dan 2 orang saksi yang       adil”. (HR. Ahmad)
Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR. Bukhori).


2.9  Muhrim

Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam:
1.      Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a)      Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b)     Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c)      Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d)     Saudara perempuan dari bapak.
e)      Saudara perempuan dari ibu.
f)       Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g)      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2.      Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a)      Ibu yang menyusui.
b)      Saudara perempuan sesusuan
3.      Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan
a)      Ibu dari isrti (mertua)
b)      Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c)      Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d)     Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4.      Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang             bersaudara, terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan     dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa : 23)

2.10  Kewajiban Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR. Bukhori Muslim).
Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :
2.10.1 Kewajiban Suami
a)      Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b)      Bergaul dengan istri secara makruf,yaitu dengan  cara  yang  layak  dan patut. Misalnya dengan  kasih  sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c)      Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab. (Lihat An-Nisa : 34).
d)     Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
2.10.2 Kewajiban Istri
a)      Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b)      memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
c)      Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan  fungsi  ibu  sebagai  kepala rumah tangga.
d)     Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-Tahrim : 6)
e)      Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.

2.11  Talak
2.11.1 Pengertian Dan Hukum Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw,  bersabda :
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَق  (رواه ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu    Daud)
2.11.2        Rukun Talak
a)      Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b)      Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c)      Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan carakinayah (sindiran).
v  Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
v  Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.

2.11.3        Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata  yang  jelas  atau  dengan  kata-kata  sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh rujuk  (kembali) sebelum habis masa idahnya  dan apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat Al-Baqoroh :  229).  Pada talak  3  suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum  istrinya  itu nikah dengan laki-laki lain  dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu”.

2.11.4        Macam-Macam Talak.
 Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu
1)      Talak Raj’i  yaitu  talak  dimana  suami  boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2)      Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
·         Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk  dengan cara akad  nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
·         Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam  talak ini suami tidak boleh rujuk  atau  menikah dengan  bekas istri kecuali  dengan syarat:
a)      Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b)      Telah dicampuri dengan suami yang baru.
c)      Telah dicerai dengan suami yang baru.
d)     Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.


2.11.5        Macam-macam Sebab Talak.
 Talak bisa terjadi karena :
1)      Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau  mentalaknya.
2)      Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3)      Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti : “Engkau seperti  punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap  salah satu cara  menceraikan istri.
4)      Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami. Talak tebus  biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
·         Istri sangat benci kepada suami,
·         Suami tidak dapat memberi nafkah.
·         Suami tidak dapat membahagiakan istri.
5)      Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
·         Karena rusaknya akad nikah seperti :
a)      diketahui bahwa istri adalah mahrom suami,
b)      Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
c)      Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.
·         Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
a)      Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku  laki-laki baik ternyata penjahat.
b)      Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah         tangga.
c)      Suami dinyatakan hilang.
d)     Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.


2.11.6        Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri bercerai maka yang berhak  mengasuh anaknya adalah:
a)        Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b)        Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

2.12    Iddah
Secara bahasa  iddah  berarti  ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1.      Lamanya Masa Iddah.
a.        Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b.       Wanita  yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya   4 bulan 10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh  ayat 234)
c.        Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci). (lihat QS.  Al-Baqoroh : 228)
d.       Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat  QS, At-Talaq :4)
e.    Wanita  yang  dicerai  sebelum  dicampuri  suaminya  maka  baginya  tidak ada  masa iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab  : 49)
2        Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.       Perempuan yang  taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk)  berhak mendapat dari suami yang mentalaknya: tempat  tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang  wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b.      Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak  atas tempat tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c.       Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak mendapat harta  warits suaminya.

2.13       Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i dan  masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk  adalah QS. Al-Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,  jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1.      Hukum Rujuk.
a)      Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b)      Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c)      Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
d)     Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e)      Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu.

2.      Rukun Rujuk.
a)      Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b)      Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
c)      Sighat (lafal rujuk).
d)     Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.







·         PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.

1.      Garis besar Isi UU No : 1 tahun 1974.
UU No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2.      Pencatatan Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap  perkawinan  dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.
3.      Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan  bahwa : “Perkawina adalah syah apabila dilakukan menurut  hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.
4.      Tujuan Pekawinan.
Dalam  Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)  yang  bahagia  dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5.      Talak.
Dalam  Bab  VIII pasal 29  ayat 1 dijelaskan  bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan  yang  bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua  belah fihak.
6.      Batasan Dalam Berpoligami.
·         Dalam  pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya  boleh  mempunyai  seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
·         Dalam  pasal 4 dan  5  ditegaskan bahwa dalam  hal  seorang  suami akan beristri lebih dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat  tinggalnya.
·         Pengadilan hanya memberi ijin  berpoligami  apabila :
a)      Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b)      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c)      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d)     Dalam pengajuan berpoligami  harus dipenuhi syarat-syarat :
ü  Adanya persetujuan dari istri.
ü  Adanya  kepastian  bahwa  suami  mampu  menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
ü  Adanya  jaminan  bahwa  suami akan  belaku  adil  terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Dalam pembahasan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa muamalah ialah hukum islam yng berkitan dengan tukar menukar barang atau sesuatu yang meberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Hal yang termasuk muamalah yaitu:
1. Jual beli yaitu penukaran harta atas dasar saling rela. Hukum jual beli adalah mubah, artinya hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka.
2. Menghindari riba.
Dalam pelaksanaan jual beli juga ada rukun jual beli yaitu:
a. Penjual dan pembeli
b. Uang dan benda yang dibeli
c. Lafaz ijab dan kabul
sedangkan  munakahat merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menikah wajib bagi seseorang yang sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu dengan rujuk.

3.2 Saran
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan  tata cara jual beli yang sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan riba yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan riba dalam islam.
munakahat merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menikah wajib bagi seseorang yang sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu dengan rujuk.




DAFTAR PUSTAKA
               
http://tjaturan.blogspot.com/2013/09/makalah-munakahat.html
http://yessiisyahuls.blogspot.com/2012/10/makalah-muamalah.html


No comments:

Post a Comment