ok gan, sekarang ane mau ngeshare makalah ane yang tugas PAI, moga bermanfaat :-)
MAKALAH
“ MUAMALAH & MUFAKAT”
Disusun Oleh :
1.
Dani Irfan
2.
M. Akbar
3.
Kardija
4.
Irsyad
5.
Riyanto
SEKOLAH
TINGGI ILMU MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
IKMI
CIREBON
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah dengan judul Muamalah dan Munakahat dapat kami
selesaikan dengan baik, dengan tujuan memenuhi tugas Mata Kuliah Umum
Pendidikan Agama Islam.
Makalah dengan judul Muamalah dan Munakahat ini berisi
materi mengenai tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup
baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang
lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat, pengertian pernikahan, hukum, rukun
dan syarat, iddah dan talak. Dengan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih
dalam mengenai pernikahan dan dapat mengetahui hukum-hukum pernikahan, sehingga
tidak salah mengerti dan tidak melakukan hal yang telah dilarang agama.
Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Kepada pembaca kami harapkan saran dan
kritik yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini, karena kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca dalam
pembinaan diri menjadi manusia yang religius yang siap membangun bangsa dan
landasan agama.
Cirebon, 14 Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 2
1.3 TUJUAN MAKALAH ............................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 PENGERTIAN MUAMALAH ............................................................... 4
2.2 MACAM-MACAM JUAL BELI ........................................................... 7
2.3 RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI .................................................... 7
2.4 HAL-HAL DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ............................ 12
2.5 PENGERTIAN MUNAKAHAT ........................................................... 16
2.6 HUKUM MUNAKAHAT ..................................................................... 18
2.7 TUJUAN MUNAKAHAT ..................................................................... 18
2.8 RUKUN DAN SYARAT NIKAH ......................................................... 19
2.9 MUHRIM ............................................................................................... 23
2.10
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI ................................................................ 24
2.11
TALAK ................................................................................................... 25
2.12
IDDAH ................................................................................................... 29
2.13
RUJUK ................................................................................................... 30
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 33
3.1 KESIMPULAN ..................................................................................... 33
3.2 SARAN ................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia
adalah mahluk yang sempurna. Namun juga
manusia adalah mahluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia
yang sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal, nafsu
dan pemikiran yang sangat berkembang namun hal diatas tidak menjamin bahwa
manusia akan menjadi mahluk yang arif dan bijaksana. Dalam kehidupan
sehari-hari manusia bahkan dapat bertindak melebihi mahluk lain yang notabene
adalah mahluk yang tak sesempurna manusia.
Manusia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang
lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan
hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu
usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan
demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang
silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga
kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur,
agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.
Dan manusia
juga membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan nafsu keinginannya dalam
membangun ikatan pernikahan untuk menurunkan keturunan yang sah sesuai dengan
ketentuan hukum islam. Oleh karena itu dalam makalah ini akan disampaikan
menegnai hukum-hukum pernikahan sesuai syariat agama islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Untuk
mengkaji dan mengulas tentang muamalah dan mufakat, maka diperlukan sub pokok
bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan Muamalah?
2.
Apa saja
macam-macam jual beli?
3.
Rukun dan
syarat apa saja yang mengsahkan jual beli?
4.
Hal-hal apa
saja yang harus dilakukan agar transaksi tersebut sah atau tidak?
5. Apa pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya beserta
dalil-dalilnya?
6. Apa tujuan pernikahan?
7. Apa rukun dan syarat pernikahan?
8. Siapa orang yang haram dinikah atau
dipinang?
9. Bagaiman kewajiban seorang istri dan
seorang suami?
1.3 TUJUAN MAKALAH
1.
Untuk
mengetahui maksud dari muamalah?
2.
Untuk
mengetahui apa saja macam-macam jual beli?
3.
Untuk mengetahui
Rukun dan syarat yang mengsahkan jual beli?
4.
Untuk
mengetahui transaksi yang dilakukan sah atau tidak.?
5. Mengetahui pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya beserta
dalil-dalilnya?
6. Mengetahui tujuan pernikahan?
7. Mengetahui rukun dan syarat
pernikahan?
8. Mengetahui orang yang haram dinikah
atau dipinang?
9. Mengetahui kewajiban seorang istri
dan seorang suami?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Muamalah
Menurut fiqih, muamalah ialah hukum
islam yng berkitan dengan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah
jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan kerjasama dagang.
1. Jual Beli
Jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Firman Allah SWT:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ
يَقُوْمُوْنَإِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن
رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah (2) : 275).
2. Ariyah
(Pinjam meminjam)
Ariyah adalah memberikan manfaat
sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak
merusakkan zatnya agar dapat dikembalikan zat barang itu. Dalam hal ariyah
terdapat rukun dan hukumnya yaitu sebagai berikut:
a.
Rukun Ariyah
1. Orang yang
meminjamkan syaratnya berhak berbuat kebaikan sekehendaknya, manfaat barang
yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan
2. Orang yang
meminjam berhak menerima kebaikan
3. Barang yang
dipinjam syaratnya barang tersebut bermanfaat, sewaktu diambil manfaatnya
zatnya tetap atau tidak rusak.
Orang yang meminjam boleh mengambil
manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya
dan apabila barang yang dipinjam hilang, atau rusak sebab pemakaian yang
diizinkan, yang meminjam tidak menggantinya. Tetapi jikalau sebab lain, dia
wajib mengganti.
b. Hukum Ariyah
Asal hukum meminjamkan sesuatu
adalah sunat. Akan tetapi kadang hukumnya wajib dan kadang-kadang juga haram.
Hukumnya wajib contohnya yaitu meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang
hampir mati. Dan hukumnya haram contohnya sesuatu yang dipinjam untuk sesuatu
yang haram.
3. Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian
atau kesepakatan dimana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau
manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemili barang yang di
pinjamkan. Hukum dari sewa menyewa ini mubah atau diperbolehkan.
4. Kerjasama
dagang atau bisnis
Dalam istilah
syariah, kerja sama bisnis sering disebut sebagai syirkah, syirkah termasuk
salah satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku
(fi’il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya
menjadi sekutu atau serikat. Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga
tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut
makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang
bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
2.2
Macam-macam Jual Beli
Dalam hal jual beli ada tiga macam
yaitu jual beli yang sah dan tidak terlarang, jual beli yang terlarang dan
tidak sah, jual beli yang sah tetapi terlarang:
1. Jual beli
yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang diizinkan oleh agama artinya,
jual beli yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2. Jual beli
yang terlarang dan tidak sah yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh agama,
artinya jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya jual beli, contohnya
jual beli barang najis, Jual beli anak hewan yang masih berada dalam perut
induknya, jual beli yang ada unsur kecurangan dan jual beli sperma hewan.
3. Jual beli
yang sah tapi terlarang yaitu jual belinya sah, tidak membatalkan akad dalam
jual beli tapi dilarang dalam agama Islam karena menyakiti si penjual, si
pembeli atau orang lain; menyempitkan gerakan pasaran dan merusak ketentraman
umum, contohnya membeli barang dengan harga mahal yang tujuannya supaya orang
lain tidak dapat membeli barang tersebut.
2.3 Rukun Dan Syarat Jual Beli
Jual
beli memiliki 3 (tiga) rukun masing-masing rukun memiliki syarat yaitu;
1.
Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli)
haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz
(sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang
budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari
tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki
harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan
juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak
kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
2. Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari
penjual dan pembeli.
Ijab
(penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga
sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau
saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka
tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya
beli…”.
b. Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz
ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama
dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang
tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki
dan hanbali.
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat
An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan
pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui
dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu
membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada
riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan
lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan.
3.
Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi
mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud
‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
1) Barang yang diperjual-belikan
memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia
pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan
barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam
jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ
وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan
ialah Kaset atau VCD musik dan porno.
Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak
berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada diantara umatku sekelompok
orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari
no.5590)
2) Barang yang dijual harus barang yang
telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah
barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk
membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya,
kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan
dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR.
Abu Daud)
3) Barang yang dijual bisa diserahkan
kepada sipembeli, maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya
yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual
burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana
sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya
yang kabur”. (HR.Ahmad)
4) Barang yang diperjual-belikan dan
harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau
mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka
bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan
selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan
barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di
saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak
atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka
yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh
padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan
dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan)
yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual
beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara
menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera
pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa
dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).
Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan
memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu.
Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan
pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang
diperjualbelikan:
1)
Yang
berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan
aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan
memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
2)
Yang
berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
·
Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa
diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
·
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga
pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing
dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
·
Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah
menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
2.4 Hal-Hal Dalam Melakukan Transaksi
Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali
seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum
bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan
MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1.
Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut
istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat
memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam
kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan
kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam
AlQur’an (2:219 dan 5:90)
2.
Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat
juga mereka yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap
transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya
alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa
konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu
transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
·
Sesuatu barangan yang ditransaksikan
itu wujud atau tidak
·
Sesuatu barangan yang ditransaksikan
itu mampu diserahkan atau tidak
·
Transaksi itu dilaksanakan secara
yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu
bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau
membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi
yang bersifat gharar.
3.
Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka
transaksi nya menjadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4.
Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat
Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap.
Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga
peringatan secara keras.
Tahapan
turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
a)
Menolak anggapan bahwa riba
tidak menambah harta justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang
menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
b)
Riba digambarkan sebagai suatu yang
buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Allah berfiman dalam QS. An Nisa : 160-161 .
“Maka
disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.”
c)
Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
d)
Merupakan tahapan yang menunjukkan
betapa kerasnya Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279
berikut ini menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi
siapa yang memakan riba.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
5.
Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung
adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya
harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi
yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar
bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi
cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti
menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas
kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.
2.5 Pengertian Munakahat
(Pernikahan)
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu,
berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun
1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah
adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ غَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ (رواه
البخارى و مسلم)
Artinya
:”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka
nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj
(kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa
itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak
mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah
atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria
terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si
peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan
selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan.
Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya.
Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang
telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya
pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa
pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami
memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan
cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan
adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami
istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan.
Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria dan wanita
yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2
kelolmpok yaitu :
1. Yang haram dipinang dengan cara
sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih
bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah
bertunangan.
2. Yang haram dipinang dengan cara
terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah
wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
2.6
Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah,
artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau
dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat
berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya
adalah sebagi berikut:
1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah
yang menjadi dasar hukum nikah.
2. Wajib, yaitu orang yang telah
mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir
akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu
menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus
kepada perzinaan.
4. Makruh, yaitu orang yang akan
melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum
mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5. Haram, yaitu orang yang akan
melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat
menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
2.7 Tujuan Munakahat
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk
memenuhi hajat
manusia (pria terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan
dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap
orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi
bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya“.
(Ar-Rum : 21).
2. Membina rasa cinta dan kasih sayang.
Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang
antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21)
Artinya :”Dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang “. (Ar- Rum : 21).
3.
Untuk memenuhi kebutuhan seksual
yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.
Melaksanakan Perintah Allah swt.
Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai
ibadah. Allah swt., berfirman :
Artinya :” Maka nikahilah
perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5.
Mengikuti Sunah Rasulullah saw.
Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan
umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku,
barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka
bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.
Untuk memperoleh
keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya :” Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)
2.8 Rukun dan Syarat nikah
a. Calon Suami, syaratnya:
a) Beragama Islam,
b) Bukan mahram calon istri,
c) Tidak dipaksa dan dipaksa.
b. Calon Istri, syaratnya:
a) Beragama islam atau ahli kitab,
b) Bukan mahram calon suami,
c) Sedang tidak mempunyai suami,
d) Tidak dalam masa iddah.
c. Sigat aqad, yang terdiri dari ijab
dan qobul
·
Ijab adalah ucapan wali mempelai
perempuan yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
·
Qobul adalah ucapan calon suami yang
berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
v Contoh Ijab
: Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan
anak perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan ……. dengan
mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة
بِنْتِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً مِنْمُصْحَافِالْقُرْاَنِ
حَالاً
v Contoh Qobul : Calon suami
menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya dengan mas
kawin tersebut di depan”. Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai
berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا وَتَزْوِجَهَا
لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Perempuan yang menikah tanpa seizin
walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah saw,
bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin
walinya maka pernikahan itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali
Nasai).
d. Wali mempelai perempuan, artinya
orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a) Laki-laki,
b) Beragama islam,
c) Balig,
d) Berakal sehat,
e) Merdeka,
f)
Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.
Wali nikah di bagi menjadi 2 macam,
yaitu:
1.
Wali nasab: yaitu wali yang mempunyai
pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun
Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a)
Ayah kandung, ayah tiri tidak syah
jadi wali,
b)
Kakek (ayah dari ayah mempelai
perempuan) dan seterusnya ke atas,
c)
Saudara laki-laki sekandung
d)
Saudara laki-laki seayah
e)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung
f)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki seayah
g)
saudara laki-laki ayah yang seayah
dengan ayah
h)
Anak laki-laki dari sdr laki-laki
ayah yang sekandung dengan ayah
i)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki ayah yang seayah dengan ayah.
2.
Wali hakim: yaitu seorang kepala Negara yang
beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim di limpahkan
kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian menteri agama mengangkat
pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan
Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali
nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
a)
Wali nasab benar-benar tidak ada
b)
Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak
memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada.
c)
Wali aqrob bepergian jauh dan tidak
memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk berindak sebagai wali
nikah.
d)
Wali nasab sedang berikhram haji
atau umroh
e)
Wali nasab menolak bertindak sebagi
wali nikah
f)
Wali yang lebih dekat masuk penjara
sehingga tidak dapat berintak sebagai wali nikah
g)
Wali yang lebih dekat hilang
sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h)
Wali hakim berhak untuk bertindak
sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinnya
:”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah seseorang
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak
jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)
e.
Dua orang saksi, syaratnya:
a) Beragama Islam,
b) Balig,
c) Berakal sehat,
d) Merdeka,
e) Laki-laki,
f)
Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, atau
umrah.
Saksi
harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(روه احمد )
Artinya:”Tidak
syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi
yang adil”. (HR. Ahmad)
Setelah
selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum
mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang
yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan
RasulNya’. (HR. Bukhori).
2.9 Muhrim
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan.
Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi.
Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam:
1. Wanita yang haram dinikahi karena
keturunan
a) Ibu kandung dan seterusnya ke atas
(nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b) Anak perempuan kandung dan
seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c) Saudara perempuan sekandung
(sekandung, sebapak atau seibu).
d) Saudara perempuan dari bapak.
e) Saudara perempuan dari ibu.
f)
Anak perempuan dari saudara
laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g) Anak perempuan dari saudara
perempuan dan seterusnya ke bawah.
2. Wanita yang haram dinikahi karena
hubungan sesusuan
a) Ibu yang menyusui.
b) Saudara perempuan sesusuan
3. Wanita yang haram dinikahi karena
perkawainan
a) Ibu dari isrti (mertua)
b) Anak tiri (anak dari istri dengan
suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c) Ibu tiri (istri dari ayah), baik
sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d) Menantu (istri dari anak laki-laki),
baik sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita yang haram dinikahi karena
mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya haram melakukan poligami
(memperistri sekaligus) terhadap dua
orang bersaudara,
terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang
perempuan dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa :
23)
2.10 Kewajiban Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan
kewajiban-kewajiban hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan
niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
(An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri
adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR.
Bukhori Muslim).
Secara
umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :
2.10.1 Kewajiban Suami
a) Memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan
secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b) Bergaul dengan istri secara
makruf,yaitu
dengan cara yang layak dan patut.
Misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan
dan sebagainya.
c) Memimpin keluarga, dengan cara
membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab. (Lihat
An-Nisa : 34).
d) Membantu istri dalam tugas
sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi
anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
2.10.2 Kewajiban Istri
a) Patuh dan taat pada suami dalam
batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami yang bertentangan
dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b) memelihara dan menjaga kehormatan
diri dan keluarga serta harta benda suami.
c) Mengatur rumah tangga dengan baik
sesuai
dengan fungsi ibu sebagai kepala
rumah tangga.
d) Memelihara dan mendidik anak
terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-Tahrim : 6)
e) Bersikap hemat, cermat, ridha dan
syukur serta bijaksana pada suami.
2.11 Talak
2.11.1 Pengertian Dan Hukum Talak
Menurut
bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak
ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal
hukum talak adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat
dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw, bersabda :
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ
الطَّلاَق (رواه ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah
adalah talak”. (HR. Abu Daud)
2.11.2
Rukun Talak
a) Yang menjatuhkan talak(suami),
syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b) Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c) Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas)
maupun dengan carakinayah (sindiran).
v Cara sharih, misalnya
“saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih
tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih,
maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
v Cara kinayah, misalnya
“Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain,
saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan
niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal
sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
2.11.3 Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak
dapat diucapkan/dituliskan dengan
kata-kata yang jelas atau dengan kata-kata sindiran.
Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh
rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan
apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat
Al-Baqoroh : 229). Pada
talak 3 suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh
nikah lagi sebelum istrinya itu nikah
dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak
oleh suami keduanya itu”.
2.11.4
Macam-Macam Talak.
Talak dibagi menjadi 2 macam
yaitu
1) Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh
rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami
kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk
kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2) Talak Bain. Talak bain dibagi
menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
·
Talak bain sughro yaitu
talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk
(karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara
akad nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa
idahnya.
·
Talak bain kubro yaitu
talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang
berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh
rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat:
a) Bekas istri telah menikah lagi
dengan laki-laki lain.
b) Telah dicampuri dengan suami yang
baru.
c) Telah dicerai dengan suami yang
baru.
d) Telah selesai masa idahnya setelah
dicerai suami yang baru.
2.11.5
Macam-macam Sebab Talak.
Talak bisa terjadi karena :
1) Ila’ yaitu sumpah seorang suami
bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat arab jahiliyah.
Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami
harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan
untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
2) Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya
berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan
kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga
dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka
Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3) Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi
penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti : “Engkau
seperti punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang
dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan
istri.
4) Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang
diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami. Talak
tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
·
Istri sangat benci kepada suami,
·
Suami tidak dapat memberi nafkah.
·
Suami tidak dapat membahagiakan
istri.
5) Fasakh, ialah rusaknya ikatan
perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
·
Karena rusaknya akad nikah seperti :
a) diketahui bahwa istri adalah mahrom
suami,
b) Salah seorang suami / istri keluar
dari ajaran Islam.
c) Semula suami/istri musyrik kemudian
salah satunya masuk Islam.
·
Karena rusaknya tujuan pernikahan,
seperti :
a) Terdapat unsur penipuan, misalnya
mengaku laki-laki baik ternyata
penjahat.
b) Suami/istri mengidap penyakit yang
dapat mengganggu hubungan
rumah tangga.
c) Suami dinyatakan hilang.
d) Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.
2.11.6
Hadhonah.
Hadhonah
artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri bercerai
maka yang berhak mengasuh anaknya adalah:
a)
Ketika masih kecil adalah ibunya dan
biaya tanggungan ayahnya.
b)
Jika si ibu telah menikah lagi maka
hak mengasuh anak adalah ayahnya.
2.12
Iddah
Secara
bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut
istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai
suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1. Lamanya Masa Iddah.
a.
Wanita yang sedang hamil masa
idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b.
Wanita yang tidak hamil,
sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan 10
hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c.
Wanita yang dicerai suaminya sedang
ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci).
(lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d.
Wanita yang tidak haid atau belum
haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-Talaq :4)
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2
Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.
Perempuan yang taat dalam
iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami yang
mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja.
Sedang wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita dalam iddah bain (iddah talak
3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal saja. (Lihat
QS. At-Talaq : 6)
c.
Wanita dalam iddah wafat tidak
mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak mendapat harta warits
suaminya.
2.13 Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami
istri pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i dan masih
dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS. Al-Baqoroh: 229,
yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1. Hukum Rujuk.
a) Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b) Haram, apabila si istri dirugikan
serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c) Makruh, bila diketahui meneruskan
perceraian lebih bermanfaat.
d) Sunat, bila diketahui rujuk lebih
bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e) Wajib, khusus bagi laki-laki yang
beristri lebih dari satu.
2. Rukun Rujuk.
a) Istri, syaratnya : pernah digauli,
talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b) Suami, syaratnya : Islam, berakal
sehat dan tidak terpaksa.
c) Sighat (lafal rujuk).
d) Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang
adil.
· PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun
1974.
1. Garis besar Isi UU No : 1 tahun
1974.
UU No : 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2. Pencatatan Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan
bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan
pencatatan perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2
sampai 9.
3. Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa
: “Perkawina adalah syah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya
itu”.
4. Tujuan Pekawinan.
Dalam Bab 1 pasal 1
dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
5. Talak.
Dalam Bab VIII
pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah fihak.
6. Batasan Dalam Berpoligami.
·
Dalam pasal 3 ayat 1
diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
·
Dalam pasal 4
dan 5 ditegaskan bahwa
dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
·
Pengadilan hanya memberi
ijin berpoligami apabila :
a) Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c) Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
d) Dalam pengajuan
berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :
ü
Adanya persetujuan dari istri.
ü Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
ü Adanya jaminan bahwa suami
akan belaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam pembahasan makalah ini, kami
dapat menyimpulkan bahwa muamalah ialah hukum islam yng berkitan dengan tukar
menukar barang atau sesuatu yang meberi manfaat dengan cara yang ditentukan.
Hal yang termasuk muamalah yaitu:
1. Jual beli yaitu penukaran harta atas dasar saling
rela. Hukum jual beli adalah mubah, artinya hal tersebut diperbolehkan
sepanjang suka sama suka.
2. Menghindari riba.
Dalam pelaksanaan jual beli juga ada rukun jual beli
yaitu:
a. Penjual dan pembeli
b. Uang dan benda yang dibeli
c. Lafaz ijab dan kabul
sedangkan munakahat
merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak
ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah
ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut
hukum syariat Islam. Menikah wajib bagi seseorang yang
sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan
dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh
Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu
dengan rujuk.
3.2
Saran
Kita sebagai umat muslim agar
memperhatikan hukum muamalah dan tata
cara jual beli yang sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan
riba yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist
yang mengharamkan riba dalam islam.
munakahat merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada
Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling mengenal
dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga
melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menikah wajib bagi seseorang yang sudah
siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan
talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah,
jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu dengan
rujuk.
DAFTAR
PUSTAKA
http://tjaturan.blogspot.com/2013/09/makalah-munakahat.html
http://yessiisyahuls.blogspot.com/2012/10/makalah-muamalah.html
No comments:
Post a Comment